Rabu, 11 Maret 2009

Fenomena kehidupan di atas Kereta Api KRD Ekonomi

Matahari sangat ganas memancarkan sinarnya hari itu, peluh bercucuran dari tubuh-tubuh yang sibuk beraktifitas. Di sebuah tempat yang tak pernah sepi, begitu terlihat fenomena kehidupan yang sangat beragam. Stasiun kereta api, tempat yang banyak mengajarkan arti perjuangan hidup.
Hari itu suasana stasiun kereta api tampak lebih ramai dari hari biasanya. Jam di dinding menunjukkan pukul 2.15 WIB. Hampir seluruh peron penuh ditempati oleh calon penumpang. Rata-rata penumpang kereta api adalah kalangan menengah ke bawah, karena ongkosnya yang sangat murah hanya Rp.1000. Mulai dari orang tua, anak kecil, anak sekolahan sampai mahasiswa tengah menunggu kedatangan kereta yang akan mereka naiki, beberapa pedagang yang siap menjajakan dagangannya bersama orang – orang yang menggantungkan hidupnya pada KA pun tengah menunggu. Untuk menghilangkan rasa jenuh karena menunggu, beberapa diantara mereka tampak asyik mengobrol tak jarang mereka tertawa terbahak-bahak, entah apa yang tengah mereka bicarakan. Ada pula yang menunggu sambil terkantuk-kantuk seolah tak peduli orang sekitar tengah memperhatikannya. Beberapa pedagang terlihat asyik menyiapkan barang dagangannya, mulai dari pedagang buah-buahan, keripik singkong, tahu sumedang, air minum dan masih banyak lagi. Seperti tak mau kalah, orang-orang yang menggantungkan hidupnya kepada KA pun tengah menyiapkan materi yang akan mereka persembahkan kepada para penumpang demi mendapatkan satu buah koin seharga lima ratus rupiah. Orang-orang yang dimaksud disini adalah seperti para pengamen (ada yang tak bisa melihat juga), anak-anak kecil jalanan yang mengais rejeki dengan cara menyapu lantai kereta, ada pula yang hanya meminta-minta (ada beberapa diantara mereka yang mengalami tuna daksa bahkan ada pula yang stress) dan masih banyak lagi.
Tampak seorang ibu setengah baya tengah menjajakan dagangannya (gorengan dan lontong) kepada para penumpang yang duduk-duduk di peron. Dengan raut wajah yang tampak kelelahan dan dagangan yang masih cukup lumayan banyak, ibu itu menjajakan dagangannya dari satu orang ke orang lainnya. Setelah cukup lama menjajakan dagangannya, akhirnya ada juga pembeli, seorang gadis SMA. Ia membeli dua buah gorengan dan satu buah lontong.
Di sudut lain terlihat dua anak lelaki kecil, penampilannya sangat dekil tak terurus. Mereka tampak bercanda tertawa-tawa saling memukul dengan menggunakan sapu yang biasa mereka gunakan untuk menyapu lantai kereta api. Raut wajah mereka begitu tampak ceria, seolah tak ada beban dalam kehidupan mereka.
Tak terasa si ular besi yang ditunggu pun datang walaupun agak sedikit terlambat lima belas menit , ia nampak terengah-engah membawa 7 gerbong yang penuh sesak oleh penumpang. Dari pengeras suara terdengar petugas mengumumkan kereta masuk ke jalur dua. Orang-orang yang tak sabar menunggu langsung berhamburan menyebar ke sepanjang peron dua dan peron tiga. Akhirnya kereta pun berhenti di jalur dua, para penumpang berhamburan turun seperti semut yang keluar dari sarangnya. Beberapa penumpang yang akan naik tak sabar menunggu nekad menerobos masuk ke dalam kereta seperti banteng yang siap menyeruduk matadornya, mereka takut tak kebagian tempat. Tampak seorang bapak yang akan turun memperlihatkan raut wajah marah sambil menggerutu karena badannya yang kurus kering terseret masuk kembali oleh para penumpang yang tak sabar ingin naik. Begitulah suasana ketika naik turun penumpang di setiap stasiun kereta api. Siapa cepat dia dapat!!!
Suasana di dalam kereta sangat penuh sesak oleh para penumpang dan pedagang juga orang-orang yang mengais rejeki di atas kereta. Hawanya begitu panas apalagi ditambah dengan cuaca hari itu yang sangat menyengat, seperti berada di dalam oven. Seorang gadis SMP berbadan tambun terlihat bermandikan keringat, ia sibuk mengibaskan sebuah buku ke arah wajahnya. Banyak penumpang yang harus berdiri berdesakan, saking penuhnya ada beberapa penumpang yang nekad naik ke atas gerbong kereta seolah mereka tak perduli akan keselamatan nyawanya. Setelah semua siap untuk berangkat kepala stasiun memberikan sinyal berwarna hijau agar kereta segera berangkat. Bunyi klakson kereta sangat keras menggema membuat siapapun akan menyingkir dibuatnya, pertanda bahwa ia siap berangkat.
Perlahan tapi pasti kereta pun melaju. Di dalam kereta yang penuh sesak, para pencari rejeki mulai beraksi. Para pedagang menjajakan dagangannya dari gerbong ke gerbong dengan harapan dagangannya laku terjual. Walaupun keadaan penuh sesak mereka menerobos masuk menyeruak kerumunan para penumpang. Para pengamen pun tak mau kalah mereka mengeluarkan kemampuan mereka untuk menarik perhatian penumpang demi sebuah koin seharga lima ratus rupiah. Mulai dari yang bernyanyi dengan nada semrawut hingga yang bernyanyi dengan suara yang benar-benar bagus. Terkadang ada yang bertingkah aneh sehingga terlihat seperti memaksakan diri demi mendapatkan sebuah uang koin seharga lima ratus rupiah.
Kereta api ini adalah saksi bisu perjuangan orang-orang yang bertahan hidup dengan mengandalkan rejeki yang didapat dari pemberian para penumpang. Banyak sekali para pengamen yang tak bisa melihat (buta), para penyandang tuna daksa (berjalan mengandalkan kekuatan tangan) anak-anak kecil yang harus bergulat dengan sampah dan debu menyapu lantai kereta api, para pedagang yang mondar-mandir dari gerbong ke gerbong menjajakan dagangannya, bahkan ada satu orang anak yang mungkin bisa dikatakan cacat mental, satu grup musik dangdut, grup calung. Mereka berjuang untuk mempertahankan hidup, mengais rejeki di atas kereta diantara sesaknya penumpang dari pagi hingga malam seolah tak pernah mengenal lelah. Mungkin mereka masih bisa tertawa, namun di balik tawa itu tersimpan satu asa kehidupan ingin merasakan kehidupan yang lebih baik.
Kereta terus melaju begitu cepat, beberapa stasiun sudah dilewati dan banyak penumpang yang turun. Sehingga membuat kereta bisa sedikit bernafas lega. Di ujung gerbong nomor lima, ada seorang bapak yang tengah duduk bersandar sambil termenung seraya sesekali ia menyeka keringatnya. Raut wajahnya tampak kelelahan, setelah ia berjalan dengan kedua tangannya mondar-mandir dari gerbong ke gerbong mengharap belas kasihan para penumpang yang memiliki hati nurani. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Semoga Allah memberikan rejeki yang melimpah pada nya.
Tak terasa kereta api sudah sampai di stasiun terakhir, aku pun turun dengan membawa banyak sekali pengalaman dan pelajaran dalam hidup. Banyak sekali pelajaran yang didapat selama perjalananku tadi. Begitu banyak fenomena kehidupan yang ku lihat mulai dari stasiun kereta hingga di dalam kereta itu sendiri.
Aku masih bisa bersyukur Allah memberikan ku kehidupan yang lebih baik dan beruntung dari para pengais rejeki di atas kereta tadi. Aku masih bisa makan enak, memiliki baju yang layak dan anggota tubuh yang lengkap. Masih banyak orang-orang yang kurang beruntung dari pada aku.
Kehidupan seperti roda yang berputar, terkadang kita berada di atas terkadang pula kita berada di bawah. Butuh perjuangan keras dalam mempertahankan hidup. Akankah kita menjadi baik ataukah jelek. Ibarat kereta api, hujan badai dan panas menyengat pun ditempuh demi tercapainya suatu tujuan dan tetap berada pada rel yang seharusnya. Begitu pun hidup, segala cobaan dan ujian harus di hadapi dan dijalani demi tercapainya tujuan hidup yang hakiki dengan tetap berada di jalan Allah.

Created by Cimey
At Thursday, March 05, 2009
09:10 PM

Tidak ada komentar: